“ jika matahari sudah mulai terbenam, maka domba akan kembali ke kandang. Betapapun para pengembala mencegahnya, maka akan tetap akan kembali.”mungkin inilah ungkapan yang tepat dalam mendiskripsikan perkembangan agama fitrah yaitu islam jika dibandingkan dengan Kristen, khususnya di Negara berpenduduk kritis. Dengan rasionalitas yang tidak menerima lagi mitologi sebagai suatu dasr keyakinan, masyarakat maju menolak Kristen sebagai pegangan hidup, sebagian mereka menggunakannya sebagai tradisi.
Terbenamnya matahari kemanusiaan dalam arus perputaran zaman, ditandai denag tingginya rasionalitas manusia. Rasionalitas yang jujur akan mengantarkan seseorang kepada keesaan allah swt. Sebagai satu satunya tempat kembali. Semetara mitologi yang mendasari dokmatika agama tela ditinggalkan. Rasionalitas inilah mendorongt barat untuk menolak agama Kristen, setelah sebelumnya mereka begitu bersemangat mempertahankan agama ini.
Petaka 11 september yang sebelumnya mengkambing hitamkan islam dan umatnya sebagai tertuduh, kini berubah menjadi titik awal perhatian barat kepada islam. Banyak perubahan positif telah terjadi. Sehingga layak jika dikatakan bahwa para omba segera kembali kepangkuan agama allah. Petaka 11 september seakan menjadi seruan kepada umat manusia untuk kembali kepada pangkuan agama hanif ( lurus ) ini, walaupun kita tidak tahu siapa pelaku sebenarnya. Wa Makarû Wa Makarallâh…..
Lalu bagaimana dengan umat muslim Indonesia, yang juga kena getah isu terorisme? Hal yang sama juga telah berlaku di Indonesia, walaupun dalam kondisi yang berbeda dengan eropa. Jika masyarakat eropa mulai melirik islam akhir – akhir ini, ,maka umat muslim Indonesia mulai menyadari adanya bahaya kristenisasi yang mengancam mereka sejak masa penjajahan, serta menyadari betapa berharganya akidah tauhid yang menjadi miliknya.
Bahaya kristenisasi yang berlangsung amat lama di negeri ini, seakan tertutup oleh karena apa. Tidak banyak media masa yang berani mengimpormasikan masalah ini, kecuali akhir –akhir ini.perkembangan terakhir ini, menunjukan adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya membentengi akidah yang menjadi pegangan paling berharga bagi dirinya.
Kesadaran akan bahaya, sangat penting untuk kemajuan mendatang. Bagaiman mungkin sebuah bahaya latin yang bermula sejak masa penjajahan itu, baru tersadari akhir - akhir ini.kesadaran yang ditunjukan dengan keberanian menolak,bukan sekedar akan adanya kegiatan pemurtadan tersebut. Kalau sekedar tahu, sudah banyak informasi yang disampaikan ke masyarakat, namun keberanian masyarakat untuk berkata tidak, agaknya terbelenggu oleh sesuatu yang sudah dijelaskan. Sungguh kenyataan yang cukup aneh. Namun begitu perkembangan terakhir yang cukup menggembirakan ini perlu disyukuri.
Tanpa bermaksud menghembuskan aroma permusuhan terhadap umat lain, kami memandang tulisan tentang kristenisasi – dari sudut pandang muslim – ini perlu dikemukakan. Sebab kristenisasi itu sendiri adalah ancaman bagi persatuan hidup bangsa dan bernegara.
Kehidupan bersama mestilah didasarkan pada kesetaraan dan kesamaan kepentingan. Dalam konteks kehidupan bernegara, kepentingan bangsa dan Negara yang teremplementasikan dalam
kehidupan social dapat menjadi landasan kerja sama, tanpa mengutak atik urusan akidah. Oleh sebab itu, interaksi social harus dilakukan dalam situasi yan berimbang, dimana suatu masyarakat tidak mengusik masyarakat lain. Kristenisasi tidak hanya mengusik, tapi menjadi setingkat terror. Apalagi dilaksanakan dengan pemaksaan. Informasi kristenisasi yang marak dibicarakan masyarakat akhir – akhir ini, cukup menjadi terror bagi umat muslim atas keselamatan diri dan keluarganya. Sebab akidah bagi seseorang muslim adalah segala – galanya. Dan akidah itulah yang ingin di ambil oleh misi kristenisasi.
Denagn ini, kami hanya berharap agar masyarakat semakin mawas diri terhadap bahaya pemurtadan, sekaligus berharap agar ini menjadi bahan pemikiran bagi para penginjil untuk berpikir ulang tentang misinya. Untuk kemudian dapat hidup bersama umat beragama lain tanpa membawa ancaman apapun. Inilah yang disebut kesetaraan yang dapat menjadi landasan hidup bersama. Lakum Dînukum Wa Liyadîn – bagimu agamamu dan bagiku agamaku , Lâ Ikrâha Fiddîn – tidak ada pemaksaan dalam beragama.
Dikutip dari buku mencari domba yang tersesat penulis Salim Rusydi Cahyono, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar